Bismillah, kita lanjut diskusi kita kemarin ya moms, tentang melanjutkan sekolah di Taiwan sebagai seorang ibu (otomatis istri juga). Sebelumnya yang bingung kenapa saya mendadak rajin nulis beginian, pertama, biar saya punya dokumentasi jawaban, jadi kalau ada yang tanya tinggal saya kasih rujukan tulisan ini; kedua, saya lagi ikut Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP) yang mewajibkan posting tulisan minimal 10 tulisan perbulan 😊. Semoga tidak bosan 😆😆😆.
Kemarin kita sudah membahas bab utama yang menjadi kegalauan ibu-ibu dalam memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negri yakni finansial, anak, dan suami . Pembahasannya juga masih kulit-kulitnya saja, nanti kita perdalam kalau ada yang bertanya 😂 (berasa lagi ngajar di kelas ini 🤣). Mungkin ada juga yang beranggapan kalau sesulit itu, ngapain sih harus sekolah tinggi-tinggi? Tapi... Memang ada beberapa profesi yang mengharuskan kuliah sampai S3, dosen misalnya.
Nah sekarang kita masuk kebagian yang lebih membuat ketar-ketir lagi, yakni bagaimana sih realita keseharian #phdmom itu? Yang saya paparkan bisa jadi tidak mewakili realita keseluruhan #phdmom, mengingat pergaulan saya yang terbatas dan mayoritas teman-teman saya berada di area yang sejenis (lab kering).
Okay, tahapan apa saja yang harus dilalui #phdmom agar bisa lulus cantik?
1. Sekolah doktoral di Taiwan menganut sistem di Amerika, yakni ada kelas yang diambil di awal. Jumlah SKS-nya bervariasi tergantung kampus dan jurusan. Misalkan di jurusan saya (International Doctoral Program for Asia Pacific Studies) jumlah SKS yang harus saya ambil minimal 30 SKS (tapi kebijakan terbaru minimal 33 SKS). Biasanya di tahun awal perkuliahan pada ngebut ambil kelas biar bisa lanjut ketahapan berikutnya. Jadi bayangkan ya moms kalau suami nanti sama-sama mahasiswa dan atau harus kerja part time. Akan sangat sulit membagi waktu dan tugas. Saya pribadi menyelesaikan perkuliahan selama satu tahun setengah, karena suami juga harus kuliah dan semester kedua sudah mulai jualan maaak 😆. Rata-rata teman singlelillah saya menuntaskan dalam waktu satu tahun saja (single dalam artian beneran jomblo atau sudah menikah tapi posisi lagi single 😅). Untungnya ada adik kelas dan tetangga yang mau bantuin jagain Najmi saat ada jadwal yang bentrok dengan suami. ❤️❤️
Oh iya sistem perkuliahannya bagaimana? Biasanya sih profesor sudah menyiapkan bahan bacaan untuk satu semester, satu minggu bisa jadi ada 3-5 jurnal yang harus dituntaskan dan beberapa buku (minimal satu). Sebenarnya tergantung profesornya juga sih, tapi umumnya demikian. Nanti biasanya kita diminta untuk memilih satu-dua topik untuk dipresentasikan, jadi perkuliahan mayoritas isinya diskusi. Saya pernah ambil kelas yang tugas setiap minggunya itu harus buat review satu jurnal dan satu buku (lumayankan mak 😊). Dan ini baru satu mata kuliah ya, persemesterkan rata-rata ambil 3-5 mata kuliah 😆😆. Tapi di kampus suami saya nggak "seheboh itu" malah ada yang cuma dikasih ppt sama prof-nya. Jadi tiap kampus bisa jadi beda 😅.
Untuk ujian bagaimana? Kebanyakan ujian UTS dan UAS berupa paper, jadi ini sangat membantu bagi saya, walau bahan bacaan jadi nambah banyak. Tapi itu lebih baik daripada ujian tertulis 😆😆😆. Ada juga deng yang ujian tertulis dan alhamdulillah saya nggak pernah ambil mata kuliah itu. Dan bisa jadi juga ujiannya hanya berupa presentasi, seperti suami saya (lagi-lagi pembandingnya ini 😅).
2. Ujian kualifikasi
Untuk bisa merubah status dari PhD Student ke PhD Candidate, PhD Mom harus melewati ujian kualifikasi. Bentuk ujiannya juga berbeda-beda di setiap jurusan dan kampus. Di jurusan saya, ujiannya berupa ujian tertulis, open book. Disajikan sekitar 4 soal utama, yang setiap soal beranak pinak, dan dikerjakan dalam waktu delapan jam saja. Bisa dikatakan, kita butuh keahlian membuat 1 artikel dalam waktu dua jam 😆. Seru dan super deg-deg-an. Ada juga kampus yang ujian kualifikasinya dengan diberikan waktu selama beberapa jam (atau menit?) untuk membaca sebuah jurnal untuk dipahami kontennya, lalu nanti akan ditanya oleh penguji apakah benar-benar sudah paham atau belum. Atau juga ada syaratnya dengan menuliskan jurnal, kalau punya publikasi maka tidak perlu ujian kualifikasi lagi. Bervariasi ya moms, jadi sebaiknya dibaca langsung di web kampus yang dituju 😊.
3. Jurnal / Konferensi Internasional / Internship
Ini sudah syarat wajib kelulusan dibanyak kampus di Taiwan. Ini pula yang biasanya jadi kendala terbesar untuk bisa lulus tepat waktu. Persyaratannya bervariasi di setiap kampus. Dijurusan saya alhamdulillah tidak terlalu berat, hanya satu jurnal dan satu konferensi internasional. Cuma saya belum memenuhi persyaratan konferensi internasional (ada sih yang di Taiwan, tapi belum saya tanyakan masuk kualifikasi atau tidak). Alasan saya kala itu karena anak masih kecil, saya masih bingung bagaimana meninggalkannya. Bisa sih boyongan sekeluarga, tapi harus dipersiapkan finansialnya. Tahun ini mau nggak mau harus ambil, karena kalau nggak tidak bisa lulus 😅😅. Untuk internship sepertinya hanya di beberapa kampus dan jurusan tertentu saja, saya pribadi belum punya pengalaman. Namun waktu itu saya pernah batal mengambil peluang pelatihan karena harus meninggalkan anak. Pelatihannya lumayan lama, dua bulan di luar negri pula, saya belum pernah satu kalipun pisah dengan Najmi. Sedih sih nggak bisa ikutan, tapi ya... sebagai phd mom ada banyak ego yang harus bisa ditekan 😆. Sabar... Sabar... 😎😎
Nah... Selain perkuliahan apakah ada lagi tugas phd mom? Hoho... Tentu ada... "Nge-Lab" itu sudah makanan sehari-hari, belum lagi harus jadi teaching assistant atau research assistant (untungnya di tahun sekarang di jurusan saya ini sudah tidak wajib lagi), kalau sudah punya supervisor lebih nano-nano lagi.
Bagaimana serunya? Saya lanjutkan besok yaaa....
Biar calon phd mom diluar sana kagak overload 🤣🤣🤣
Salam strong,
#bundanajmi (eh kami tutup ya sabtu dan minggu ini 😆)
*P.s itu foto disekolah Najmi tadi. Setelah melewati berbagai permainan seru, kami dapat hadiah berupa foto polaroid ini. 😍😍
No comments:
Post a Comment