Lanjut ulasan saya terkait belajar di Taiwan. Problematika lainnya yang banyak ditanyakan yakni tentang melanjutkan studi (khususnya S3) bagi seorang ibu. Saya fokuskan ke pembahasan di Taiwan karena barangkali sikonnya berbeda di negara lain. Btw kisah #phdmom dari berbagai belahan dunia sudah ada bukunya loh, judulnya "Jurnal Phd Mama", ada kisah saya juga di sana, bisa dicari di gramedia terdekat #yeaypromo ππ
Kembali ke laptop...
Menjadi mahasiswa postgraduate dengan amanah tetap sebagai istri dan ibu sudah dipastikan tidak mudah. Kalau dalam ilmu manajemen waktu selalu digaungkan "set your priority", dijamin emak phd bakal tambah stress. Bagaimana tidak... Semua ya prioritas! Semua penting! Semua harus diutamakan! Yey kan mak? π
Lalu bagaimana? Apakah pilihan melanjutkan studi S3 dengan status emak-emak layak diperjuangkan? Hal penting yang perlu dipertimbangkan:
1. Suami apa kabar? Karena bagaimanapun suami adalah nahkoda dalam berumah tangga. Jika istri pergi ke luar negri untuk melanjutkan studi, ridho kah? Opsi yang memungkinkan:
a. Sama-sama jadi mahasiswa, tapi ini perjuangannya tidak mudah. Saya dan suami pernah di fase ini dan pergulatannya lumayan. Siapa yang harus mengalah, siapa yang harus jaga anak, haaah... Benar-benar ujian kesabaran. Tapi positifnya, keluarga utuh, semua kumpul dengan segala suka dukanya.
b. Suami ikut istri ke luar negri. Ini juga pilihan sulit, bagaimana dengan karir suami di tanah air? Kan yang bertugas mencari nafkah itu ada di pundak suami? Kalau suami memiliki pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh, alhamdulillah. Kalau tidak? Ya... Mau tidak mau suami harus berkorban. Pernah diskusi panjang dengan suami terkait hal ini, dan kesimpulannya sangat berat bagi suami untuk mengambil keputusan ini (hasil diskusi kami ya, yang lain bisa jadi punya pandangan berbedaπ
).
c. Suami ikut istri ke luar negri dan kerja part time. Ini terdengar seperti win-win sollution, namun realitanya tidak seindah itu π. Kendala utama ada pada status visa suami, yang karena ikut istri, suami otomatis statusnya jadi dependen (ikut istri). Dengan visa ini, tidak mudah bagi suami untuk mencari pekerjaan. Ditambah lagi, bahasa sehari-hari masyarakat di Taiwan adalah bahasa mandarin yang kebanyakan orang Indonesia tidak memahaminya, menjadi kendala besar saat ingin mencari pekerjaan. Dan ingat, fungsi utama suami adalah sebagai suport system istri yang akan menyelesaikan studinya. Dengan bekerja part-time, alih-alih meringankan beban istri, jangan-jangan malah menambah beban π
ππ.
d. LDM : long distance marriage, berpisah sementara. Saya pribadi tidak mendukung opsi ini, tapi kondisi masing-masing orang tidak sama. Mungkin ini perjuangan terberat bagi PhD mom dalam menuntaskan tugas belajarnya. Perlu ulasan khusud untuk bagian ini ☺️.
2. Anak apa kabar?
Banyak yang bertanya ke saya kondisinya masih memiliki anak usia balita. Bahkan ada yang baru melahirkan. Untuk rekan-rekan dengan kondisi seperti ini, saya tidak sungkan untuk menyarankan, fokus saja dulu dengan anaknya atau ambil S3 di dalam negri saja. Kecuali bisa boyongan sekeluarga ke Taiwan, tapi kalau harus berpisah dengan anak usia bayi dan balita saya tidak menyarankan. Mungkin banyak yang berbeda pendapat dengan saya, tidak apa-apa. Saya hanya ingin mengingatkan kepada saudari-saudari, terkhusus sesama Muslimah, nanti Allah akan bertanya tentang bagaimana kita merawat dan menjaga amanah-Nya (anak), namun tidak akan bertanya kenapa kamu nggak lanjut S3? π
Oh iya, satu lagi, karena yang berekolah adalah emak, terkadang opsi lainnya anak dititipkan ke day care. Masalahnya biaya penitipan anak di sini bisa lebih banyak dari jumlah beasiswa yang emak terima setiap bulannya ππ.
Membawa anak ke Taiwan juga bukan perkara mudah, ada beberapa hal krusial yang harus dipertimbangkan, seperti :
a. Bagaimana membantu anak beradaptasi dengan lingkungan baru? Ini tidak mudah, apalagi jika anak yang dibawa sudah bukan balita lagi.
b. Bagaimana pendidikan anak? Yang tertekan bukan hanya orang tua, tetapi juga anak. Mungkin keytika di Indonesia anak kita anak yang berprestasi, sampai di Taiwan malah turun kelas dan harus berjuang keras belajar bahasa mandarin. Ada juga yang jadi sekolah dua kali, pagi sampai siang sekolah di sekolah Taiwan, sore sampai malam sekolah jarak jauh di sekolah Indonesia. Banyak kok yang bisa melaluinya, tapi sekali lagi.... Itu tidak mudah.
c. Bagaimana dengan pendidikan agamanya? Ini PR juga moms, ditambah lagi dengan lingkungan pergaulan yang bebas di Taiwan (orang kissing di jalan aja itu perkara biasa). Butuh usaha ekstra untuk memfilter apa saja yang sudah masuk melalui penglihatan dan pendengaran anak-anak. Tidak ada sekolah khusus bagi anak Muslim di sini, sehingga mau tidak mau orang tua yang harus mengisi kebutuhan tersebut. Ada ngaji seminggu sekali di Masjid, tapi saya rasa itu tidak cukup.
Hem, baru bahas dua bagian penting saja sudah sepanjang ini ya π
π
. Mungkin besok saya lanjutkan lagi, terkait bagaimana cara mencari lab, mencari kampus dan profesor bagi anda calon PhD mom. Juga mengenai susana perkuliahan di Taiwan. Sebelum akhirnya sampai pada keputusan.. YES or NEY ☺️
Oh iya, boleh juga coret-coret di komen topik apa yang bisa kita kupas tuntas terkait lanjut studi bagi emak-emak π
Izin undur diri dulu ❤️❤️❤️
No comments:
Post a Comment