Saya dan suami tersenyum dan saling mengingatkan untuk bersyukur sembari merebahkan tubuh lelah kami. Kemarin dan hari ini termasuk hari yang padat bagi kami, hari yang sama sejak kami memutuskan untuk terjun kedunia bisnis. Sebuah keadaan yang memaksa kami menjalankannya. Seketika arah pembicaraan kami berubah, disaat saya mengingatkan sebuah tanggungan yang belum kami jalankan.
Berawal dari sebelum keberangkatan kami ke Taiwan, pak bos memperkenalkan saya dengan tiga orang anak muda yang juga sedang berjuang meraih beasiswa ke Taiwan #kalaitu. The three musketeer, demikian saya dan suami menamakan mereka. Hingga sebuah takdir nyaris memisahkan kebersamaan mereka. Ya... seorang dari mereka tidak diterima beasiswa dari pemerintah Taiwan, namun masih mendapatkan beasiswa kampus. Sebagai wujud solidaritas, Pak Bos menawarkan bagaimana jika kami, saya dan dua orang temannya membantu sejumlah uang untuk anak tersebut sehingga dia tetap bisa berangkat bersama dengan kami dan mendapatkan nominal yang lumayan untuk living cost-nya. Saya main iya saja, tanpa diskusi dengan suami. Dalam pikiran saya, anggap saja itu 2,5% dari zakat yang harus saya keluarkan. Singkat cerita... berangkatlah kami ke Taiwan (Berangkat masing-masing).
Seperti yang dijanjikan, saya mensupport sejumlah dana ke orang tersebut, bahkan juga suami saya. Padahal di awal, suami saya tidak terlibat sama sekali. Tapi ya sudah... anggap saja itu zakat dan sedekah yang harus kami keluarkan. Lagi, suami keberatan awalnya karena menurut suami dana itu lebih layak diberikan ke adik-adik kami yang juga butuh support dana dari kami. Atau ditabung untuk kebutuhan kami ke depan, mengingat suami hanya ikut kelas bahasa dan beasiswa hanya 6 bulan. Saya yakinkan suami, insyaAllah, Allah akan beri kami rejeki yang lain.
Enam bulan berlalu, kondisi keuangan kami memang sangat tidak memungkinkan untuk mensupport orang lain. Kami saja kekurangan, dengan satu beasiswa (beasiswa saya) itu hanya cukup untuk bayar kontrakkan dan uang transportasi. Bagaimana dengan uang makan? Uang keperluan kuliah? Uang keperluan untuk anak kami yang masih berusia 2 tahun? (pampers, susu, jajan, buah... ini butuh dana besar looh). Belum lagi saat itu memasuki musim dingin, kami butuh membeli banyak perlengkapan musim dingin dan juga jaket tebal (tau sendiri harga jaket musim dingin kaan???). Kalau boleh adil, harusnya saat seperti ini kami justru yang di support. kekeke. Namun kami tidak selemah itu, kami siap banting tulang dan menikmati semua proses ini... suak maupun dukanya.
Akhirnya kami sampaikan kepada pihak yang bersangkutan bahwa kami off dulu selama satu semester, karena kondisi kami memang tidak memungkinkan. Semester selanjutnya (dengan asumsi suami sudah S2 dan dengan PD-nya kami kalau suami akan dapat beasiswa) kami akan lanjut mensupport. Lagi pula... masih ada dua orang lagikan yang akan mensupport bukan? Tapi betapa kagetnya kami, ternyata selama ini hanya kami berdua yang mensupport sedangkan dua orang lainnya tidak. Tidak perlu dijelaskan di sini apa dan bagaimananya... karena bukan itu inti cerita ini :)
Dalam sebuah pertemuan, X yang selama ini kami support bercerita bagaimana "menderitanya" dia karena tidak adanya support seperti yang dijanjikan. X memang tidak salah, karena dia tidak tahu kondisi dan kejadian yang sebenarnya, saya pun korban... karena saya mengira X tau kesepakatan awal bahwa dia akan di support oleh tiga orang (yang ternyata hanya satu orang dan X taunya memang hanya saya yang akan mengsupport dia. What??) jadi ketika kami off enam bulan harusnya tidak masalah. Lagi pula suami saya pun turut menyumbangkan sejumlah dana. Tapi yaaa begitulah.
X bercerita dia harus bekerja tambahan sebagai tukang cuci piring dan itu sangat melelahkan, karena harus berdiri sampai malam. Belum lagi kelas yang diambilnya banyak, hanya satu hari yang bisa digunakannya untuk beristirahat (kebetulan saya menawarkan X mengajar menggantikan posisi saya dengan maksud uang gajinya bisa sebagai substitusi uang bulanan yang selama ini saya berikan, Namun X tidak bisa karena itu satu-satunya hari utuk beristirahat baginya). Kondisi keluarganya juga sedang kesulitan karena ibunya kena stroke. Saya dan suami hanya bisa khidmat dengarkan.
Usai X pulang, saya dan suami saling bertatapan, sepertinya kami mengerti apa isi pikiran kami masing-masing saat itu. Sambil berbincang santai, kami membahasa satu persatu kisah X.
*Ambil kelas banyak? Saya semester itu ambil 5 kelas, kurang banyakkah? :) Dimana-mana kelas S3 lebih sulit daripada kelas anak master *menurut saya
* Ibu kena stroke? Ayah sayapun waktu itu sedang terbaring di rumah sakit, sama kena stroke! Dan ayah mertua baru keluar dari rumah sakit karena sakit jantung. Common.... semua keluarga punya kisah dan masalahnya masing-masing :)
* Capek... tidak ada waktu istirahat. Hem... mungkin dia harus merasakan dulu bagaimana capeknya menjadi seorang ibu, istri, mahasiswa dan pengelola katering!! Tidur bagi kami adalah anugrah... boro-boro hari khusus untuk beristirahat. Bayangkan.. diantara lima kelas yang saya ikuti harus saya bagi lagi untuk mengasuh anak... membaca paper... mengerjakan orderan... menyiapkan projek dan riset untuk akhir semester di indonesia... revisi jurnal (yang alhamdulillah akhirnya di publish). Jam 10 itu waktu paling awal bagi kami untuk tidur dan jam 2 kami harus sudah bangun lagi. Bahkan selama ramadhan.. dingin-dingin terkadang hujan-hujan suami saya mesti mengantar pesanan untuk sahur! ZOMBI... iya, itu kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana kondisi kami pada masa itu. Sering kali kami bertangis-tangisan tengah malam menikmati dinamika kehidupan yang sedang dihadiahkan kepada kami. Dan di ujung sana... masih ada orang yang merongrong kami tanpa peduli bagaimana menderitanya kami!
Tapi alhamdulillah.... kami bisa menjalaninya... kami masih waras #alhamdulillah dan kami bisa menjaga lisan untuk tidak mengeluh! Dan kini kami sadari, tidak mengeluh itu sangat penting. Bermental baja itu harus. Apalagi bagi anda yang memutuskan untuk terjun kedunia bisnis. Tidak ada aktivitas yang tidak capek di dunia ini. Hanya tidur seharianpun bikin capek! ^_^
Jalani... dan yakinlah pada Allah kalau setiap ikhtiar itu akan selalu berbuah manis. Sama halnya seperti kemarin yang saya jalani. Hari kamis kami ada orderan 20 porsi nasi padang dan 3 kg rendang, hari jumat ada 30 orderan ayam geprek dan dendeng, hari minggu ada orderan 60 porsi biendang dan hari selasa ada 20 orderan nasi padang. Semua dilakukan disela-sela waktu kami. Misalkan... untuk mengerjakan 20 orderan hari selasa ini, senin pagi saya sudah angsur memasak, senin siang sampai sore saya kuliah, sore sampai malam harusnya ada kelas bahasa mandarin namun saya skip karena ada beberapa perlengkapan yang tidak cukup sehingga pulang kampus saya mesti berburu ke pasar. balik dari pasar menemani anak yang sudah seharian saya tinggali. Setelah anak tidur saya eksekusi memasak sampai jam 3 pagi. Istirahat sejenak dan bangun subuh. Usai subuh langsung persiapkan pesanan 20 porsi nasi Padang bersama suami. Siang suami antarkan pesanan dan lanjut ke kampus dan saya di rumah membersamai anak. Sebagai seorang ibu sayapun harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti bersih-bersih dan masak untuk keluarga. Malam suami pulang saatnya family time. Saat semuanya sudah tertidur.... saya masih melek di sini. belajar cuy! dan curhat di sini :P So.... kalau anda capek... saya pun capek :)
No comments:
Post a Comment