Wednesday, 29 November 2017

Mengenal Waktu

Hari ini Emak dan Najmi jalan-jalan ke Daiso, rencananya mau beli perlengkapan untuk menata ruang belajar Najmi dan membeli jam! Iya... jam-jam-an, hehehe.

Awalnya saya tidak berniat mengajarkan Najmi tentang waktu, karena terlalu dini *menurut saya. Sejauh ini saya hanya mengajarkan tentang pagi (ditandai dengan terang) dan malam (ditandai dengan gelap/ kelam). Tapi siapa sangka anaknya sendiri yang menunjukkan ketertarikan. Berawal dari emak yang suka terlambat dan di saat injury time mesti bilang, "Ayo Najmi buruan... Bunda sudah telat... sudah jam berapa ini. Tuuuh jam 10, Bunda jam 11 ada kelas looo..."

Najmi jadi sering bertanya jam itu apa? Waktu itu apa? Dengan sederhana saya menjelaskan bahwa," dalam satu hari itu ada 24 jam yang terbagi atas pagi, siang, sore dan malam. Waktu itu penting dan kita harus benar-benar memperhatikannya". Najmi ber ooo panjang, entah dia paham atau tidak :D :D Namun setidaknya dia sedikit memahami mengenai konsep waktu. Dan sejak itu, setiap saat bertanya, "sekarang jam berapa bunda?"

Slowly but sure ya shalihah ^_^
Lalu bagaimana dengan jam-jam-an yang kami cari di Daiso? Adakah? Ada... tapi Najmi berubah pikiran. Dia milih alat-alat masak daripada jam :D :D

#day5
#level6
#kuliahbunsayiip
#ilovemath
#matharoundus

Tuesday, 28 November 2017

Happy Counting

Tantangan #logikamatematika kali ini simple saja. Kami (saya dan Najmi) belajar berhitung dari 1-10 dalam empat bahasa : Inggris, Indonesia, Mandarin dan Minang.

Seneng dengarnya saat Najmi mengucapkan yang versi Minang, cengkoknya pas euy... hihihi. najmi sendiri lebih senang mengucapkan dengan bahasa Inggris.

Entah mengapa, Najmi cenderung menyenangi Bahasa Inggris daripada Bahasa Mandarin, selain Indoneaia tentunya. Mungkin karena dia lebih familiar dengan bahasa Inggris (buku, lagu dan tontonan) daripada bahasa mandarin. Mari kita lihat tahun depan, saat Najmi sudah sekolah. Kira-kira dia leBih suka yang mana? ^_^


#day4
#level6
#kuliahbunsayiip
#ilovemath
#matharoundus

Dilarang Mengeluh : Kunci Utama Keberlangsungan Bisnis

"Tidak terasa Bun... bukunya sudah penuh", suami menyodorkan buku yang selama ini dia gunakan untk mencatat aneka pesanan. Buku sebanyak 100 halaman itu sudah penuh, bolak-balik. Kira-kira sudah berapa pesanan yang kami kerjakan dalam sepuluh bulan ini?

Saya dan suami tersenyum dan saling mengingatkan untuk bersyukur sembari merebahkan tubuh lelah kami. Kemarin dan hari ini termasuk hari yang padat bagi kami, hari yang sama sejak kami memutuskan untuk terjun kedunia bisnis. Sebuah keadaan yang memaksa kami menjalankannya. Seketika arah pembicaraan kami berubah, disaat saya mengingatkan sebuah tanggungan yang belum kami jalankan. 

Berawal dari sebelum keberangkatan kami ke Taiwan, pak bos memperkenalkan saya dengan tiga orang anak muda yang juga sedang berjuang meraih beasiswa ke Taiwan #kalaitu. The three musketeer, demikian saya dan suami menamakan mereka. Hingga sebuah takdir nyaris memisahkan kebersamaan mereka. Ya... seorang dari mereka tidak diterima beasiswa dari pemerintah Taiwan, namun masih mendapatkan beasiswa kampus. Sebagai wujud solidaritas, Pak Bos menawarkan bagaimana jika kami, saya dan dua orang temannya membantu sejumlah uang untuk anak tersebut sehingga dia tetap bisa berangkat bersama dengan kami dan mendapatkan nominal yang lumayan untuk living cost-nya. Saya main iya saja, tanpa diskusi dengan suami. Dalam pikiran saya, anggap saja itu 2,5% dari zakat yang harus saya keluarkan. Singkat cerita... berangkatlah kami ke Taiwan  (Berangkat masing-masing). 

Seperti yang dijanjikan, saya mensupport sejumlah dana ke orang tersebut, bahkan juga suami saya. Padahal di awal, suami saya tidak terlibat sama sekali. Tapi ya sudah... anggap saja itu zakat dan sedekah yang harus kami keluarkan. Lagi, suami keberatan awalnya karena menurut suami dana itu lebih layak diberikan ke adik-adik kami yang juga butuh support dana dari kami. Atau ditabung untuk kebutuhan kami ke depan, mengingat suami hanya ikut kelas bahasa dan beasiswa hanya 6 bulan. Saya yakinkan suami, insyaAllah, Allah akan beri kami rejeki yang lain. 

Enam bulan berlalu, kondisi keuangan kami memang sangat tidak memungkinkan untuk mensupport orang lain. Kami saja kekurangan, dengan satu beasiswa (beasiswa saya) itu hanya cukup untuk bayar kontrakkan dan uang transportasi. Bagaimana dengan uang makan? Uang keperluan kuliah? Uang keperluan untuk anak kami yang masih berusia 2 tahun? (pampers, susu, jajan, buah... ini butuh dana besar looh). Belum lagi saat itu memasuki musim dingin, kami butuh membeli banyak perlengkapan musim dingin dan juga jaket tebal (tau sendiri harga jaket musim dingin kaan???). Kalau boleh adil, harusnya saat seperti ini kami justru yang di support. kekeke. Namun kami tidak selemah itu, kami siap banting tulang dan menikmati semua proses ini... suak maupun dukanya. 

Akhirnya kami sampaikan kepada pihak yang bersangkutan bahwa kami off dulu selama satu semester, karena kondisi kami memang tidak memungkinkan. Semester selanjutnya (dengan asumsi suami sudah S2 dan dengan PD-nya kami kalau suami akan dapat beasiswa) kami akan lanjut mensupport. Lagi pula... masih ada dua orang lagikan yang akan mensupport bukan? Tapi betapa kagetnya kami, ternyata selama ini hanya kami berdua yang mensupport sedangkan dua orang lainnya tidak. Tidak perlu dijelaskan di sini apa dan bagaimananya... karena bukan itu inti cerita ini :) 

Dalam sebuah pertemuan, X yang selama ini kami support bercerita bagaimana "menderitanya" dia karena tidak adanya support seperti yang dijanjikan. X memang tidak salah, karena dia tidak tahu kondisi dan kejadian yang sebenarnya, saya pun korban... karena saya mengira X tau kesepakatan awal bahwa dia akan di support oleh tiga orang (yang ternyata hanya satu orang dan X taunya memang hanya saya yang akan mengsupport dia. What??) jadi ketika kami off enam bulan harusnya tidak masalah. Lagi pula suami saya pun turut menyumbangkan sejumlah dana. Tapi yaaa begitulah.

X bercerita dia harus bekerja tambahan sebagai tukang cuci piring dan itu sangat melelahkan, karena harus berdiri sampai malam. Belum lagi kelas yang diambilnya banyak, hanya satu hari yang bisa digunakannya untuk beristirahat (kebetulan saya menawarkan X mengajar menggantikan posisi saya dengan maksud uang gajinya bisa sebagai substitusi uang bulanan yang selama ini saya berikan, Namun X tidak bisa karena itu satu-satunya hari utuk beristirahat baginya). Kondisi keluarganya juga sedang kesulitan karena ibunya kena stroke. Saya dan suami hanya bisa khidmat dengarkan. 

Usai X pulang, saya dan suami saling bertatapan, sepertinya kami mengerti apa isi pikiran kami masing-masing saat itu. Sambil berbincang santai, kami membahasa satu persatu kisah X.

*Ambil kelas banyak? Saya semester itu ambil 5 kelas, kurang banyakkah? :) Dimana-mana kelas S3 lebih sulit daripada kelas anak master *menurut saya
* Ibu kena stroke? Ayah sayapun waktu itu sedang terbaring di rumah sakit, sama kena stroke! Dan ayah mertua baru keluar dari rumah sakit karena sakit jantung. Common.... semua keluarga punya kisah dan masalahnya masing-masing :) 
* Capek... tidak ada waktu istirahat. Hem... mungkin dia harus merasakan dulu bagaimana capeknya menjadi seorang ibu, istri, mahasiswa dan pengelola katering!! Tidur bagi kami adalah anugrah... boro-boro hari khusus untuk beristirahat. Bayangkan.. diantara lima kelas yang saya ikuti harus saya bagi lagi untuk mengasuh anak... membaca paper... mengerjakan orderan... menyiapkan projek dan riset untuk akhir semester di indonesia... revisi jurnal (yang alhamdulillah akhirnya di publish). Jam 10 itu waktu paling awal bagi kami untuk tidur dan jam 2 kami harus sudah bangun lagi. Bahkan selama ramadhan.. dingin-dingin terkadang hujan-hujan suami saya mesti mengantar pesanan untuk sahur! ZOMBI... iya, itu kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana kondisi kami pada masa itu. Sering kali kami bertangis-tangisan tengah malam menikmati dinamika kehidupan yang sedang dihadiahkan kepada kami. Dan di ujung sana... masih ada orang yang merongrong kami tanpa peduli bagaimana menderitanya kami! 

Tapi alhamdulillah.... kami bisa menjalaninya... kami masih waras #alhamdulillah dan kami bisa menjaga lisan untuk tidak mengeluh! Dan kini kami sadari, tidak mengeluh itu sangat penting. Bermental baja itu harus. Apalagi bagi anda yang memutuskan untuk terjun kedunia bisnis. Tidak ada aktivitas yang tidak capek di dunia ini. Hanya tidur seharianpun bikin capek! ^_^ 

Jalani... dan yakinlah pada Allah kalau setiap ikhtiar itu akan selalu berbuah manis. Sama halnya seperti kemarin yang saya jalani. Hari kamis kami ada orderan 20 porsi nasi padang dan 3 kg rendang, hari jumat ada 30 orderan ayam geprek dan dendeng, hari minggu ada orderan 60 porsi biendang dan hari selasa ada 20 orderan nasi padang. Semua dilakukan disela-sela waktu kami. Misalkan... untuk mengerjakan 20 orderan hari selasa ini, senin pagi saya sudah angsur memasak, senin siang sampai sore saya kuliah, sore sampai malam harusnya ada kelas bahasa mandarin namun saya skip karena ada beberapa perlengkapan yang tidak cukup sehingga pulang kampus saya mesti berburu ke pasar. balik dari pasar menemani anak yang sudah seharian saya tinggali. Setelah anak  tidur saya eksekusi memasak sampai jam 3 pagi. Istirahat sejenak dan bangun subuh. Usai subuh langsung persiapkan pesanan 20 porsi nasi Padang bersama suami. Siang suami antarkan pesanan dan lanjut ke kampus dan saya di rumah membersamai anak. Sebagai seorang ibu sayapun harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti bersih-bersih dan masak untuk keluarga. Malam suami pulang saatnya family time. Saat semuanya sudah tertidur.... saya masih melek di sini. belajar cuy! dan curhat di sini :P So.... kalau anda capek... saya pun capek :)

Sunday, 26 November 2017

Forgive But Not Forget

Terkadang saya suka berfikir, apakah saya seorang pendendam? Saya tidak pernah bisa melupakan kejadian buruk yang dilakukan oleh orang lain terhadap saya. Apalagi jika orang tersebut pura-pura tidak tahu dan tidak pernah meminta maaf atas perlakuan buruk yang pernah dilakukannya. Di satu sisi saya sering menyampaikan ke diri saya sendiri,"tidak apa-apa", tapi dalam realitanya ada satu hal yang tidak bisa didustakan : saya tidak mau bertemu dengan orang tersebut. 

Ketika saya berkata its okay... saya memaafkan... itu seperti sebuah kejadian masa lalu yang biarkanlah tetap berada di masa lalu, termasuk oknum pelakunya. Jadi ketika di masa depan saya bertemu dengan orang tersebut semua kenangan buruk itu kembali berhamburan dan seketika menjadi jarak dan batas antara saya dan dia. Misalkan saya memilih untuk tidak berkomunikasi, jika pun berkomunikasi seperlunya saja, saya pun akan memilih untuk tidak berada satu ruangan dengan orang tersebut kalau pun satu ruangan berada di posisi yang saya tidak perlu melihatnya. Apakah sebenarnya kemarahan... dan rasa kecewa saya belum tuntas? Atau memang tidak pernah diselesaikan? Dan apakah ini artinya saya dendam?

Tapi saya tidak pernah punya keinginan untuk membalas. Saya pun hanya bisa bersedih kenapa ada orang yang tega melukai dan menyakiti saya. Saya kecewa dan yang bisa saya lakukan adalah menangis. Untuk beberapa kasus saya menyampaikan secara langsung rasa kecewa saya, namun beberapa kasus lain kesedihan itu berlalu begitu saja dibawa angin lalu. Berlalu... dan tiba-tiba hadir kembali saat saya beremu dengan si pelaku, hehehe. :) Saya juga jadi manusia yang kurang simpati, jika ada hal buruk yang terjadi pada orang tersebut hati kecil saya acap kali berbisik, "kamu pantas mendapatkannya" dan jika saya berada diposisi yang dapat membantu, biasanya tidak akan saya bantu. Saya memilih untuk tidak tahu apa-apa. Apakah hal ini salah?

Pada dasarnya saya manusia yang lempeng-lempeng saja. Saya tidak pernah punya niat jahat terhadap orang lain. Orang lain pun saya posisikan sama, mereka semua baik, dan selama ini mayoritas orang yang saya temui memang orang baik. Hanya satu dua orang saja yang tidak seperti ekspektasi saya, dan karena itu perlakuan buruk mereka jadi sangat membekas di hati saya. 

Saturday, 25 November 2017

SOP itu Penting!

SOP a.k.a Standard Operation Procedure merupakan bagian penting dari sebuah bisnis, walaupun itu hanya bisnis ecek-ecek :) Dan saya termasuk pebisnis pemula yang kurang memperhatikan hal ini. 


Seiring berjalannya waktu, ada banyak pelanggan yang pada akhirnya ingin menjadi re-seller saya. Setelah berdiskusi dengan produsen, saya mendapatkan harga bagus sehingga memungkinkan untuk mengepakkan sayap dengan membuka peluang bagi beberapa orang re-seller. Dalam menetapkan re-seller saya tidak membuat SOP ataupun aturan baku bagi para re-seller. Saya hanya menyediakan :
1. Daftar Harga re-seller dan daftar harga jual saya (sebagai perbandingan);
2. Minimal pembelian (sehingga bisa di cover ongkos kirim dan tidak merepotkan saya untuk packing ulang dan kirim ulang, jadi produsen yang langsung mengirimkan);
3. Minimal waktu pemesanan, karena kami sangat konsen dengan kesegaran dan kualitas bakso yang dijual.

Setelah berjalan selama beberapa waktu, banyak hal-hal kecil yang luput dari kami namun karena cuma masalah minor dan tidak menjadi masalah bagi produsen, kami tidak terlalu ambil pusing. Walau terus terang cukup mengganngu bagi saya :) Misalkan dalam menyediakan biang kaldu untuk kuah bakso. Karena re-seller saya kebanyakan mahasiswa, produk paling laris yag mereka jual adalah bakso tahu. Bakso tahu ini dari segi harga paling murah, namun dari segi kuah paling banyak. Terkadang antara effort dan keuntungan yang didapat tidak sebanding, namun atas nama bantu mahasiswa ya sudah bolehlah. 

Hingga puncaknya pada suatu ketika... seorang re-seller membatalkan pesanannya. Pesanannya tidak sedikit... 80 porsi! Dan pembatalan dilakukan beberapa jam sebelum barang di antar. Saya dan suami tentu geram, namun kepala harus tetap dingin. Dengan alasan istri temannya hendak melahirkan, maka dengan terpaksa dia harus membatalkan pembelian.
"Yang mau melahirkan istri temannya, lalu kenapa yang batal jualan bakso kenapa dia?" tanya saya kepada suami yang sudah semakin masam senyumnya. Hehehe... ya yang ditanya tidak lebih tau dari yang bertanya. Kamipun tidak menanyakan langsung, karena kondisi emosi sedang siap-siap meledak kala itu. Jadi hanya bisa berasumsi saja... barangkali yang selama ini bantu jualan teman tersebut. Tapi... kalau teman itu statusnya membantu, kalau istri si teman mau melairkan... si re-seller bisa menjualnya sendiri dengan mencari tenaga bantuan yang lainkan?
"Atau jangan-jangan dia cuma broker, penyambung ke si teman yang istrinya mau melahirkan itu." Hm.... make sense sih. 

Tapi.. walau posisinya hanya sebagai broker, bukan berarti dia bisa seenaknya saja kan? Main cancel ke kami, di detik-detik barang yang akan diantarkan. Barang sudah jadi... modal sudah keluar... nggak bisa seenaknya saja kan? Ya betul ini resiko bisnis, tapi pihak kedua bukan serta merta main cuci tangan saja kan? Banyak alternatif yang bisa dia pilih tanpa harus merugikan pihak lain. Dengan berbagai manuver akhirnya kami berhasil memaksa re-seller untuk bertanggung jawab dengan barang pesanannya. Kami bisa mengerti jika alasannya adalah hal yang sangat darurat sekali. Namun alasan yang dia sampaikan ke kami menunjukkan betapa lemahnya mental wirausahanya. Dari awal re-seller yang satu ini memang terlihat "mau enaknya" saja, dan serba praktis. Pengen dapat duit tapi kagak mau usaha ^_^ Namun kami tetap memberi dia kesempatan dengan harapan seiring berjalannya waktu dia akan belajar banyak hal. Tapi ternyata kami salah :) 

Lalu apakah dia tetap kami jadikan re-seller? Selama dia mau ya silahkan, tentunya dengan berbagai catatn dan evaluasi. Kami sendiri berterima kasih, dengan kejadian ini kami menyadari bahwa SOP itu penting! Akad awal sebelum bermuamalah itu sangat perlu, agar tidak ada yang dirugikan. Misalkan, jika diawal kami menginformasikan bawah pemesanan minimal dua hari sebelumnya dan pembatalan minimal satu hari sebelumnya dengan tetap membayar sebanyak 25% dan 100% jika pembatalan dilakukan secaa mendadak, dia tentu akan mikir-mikir lagi untuk "berbuat sesukanya". 

Kami diajarkan untuk benar-benar prosefional, jangan pakai perasaan mulu. kasihan ini mahasiswa.. kasihan bla-bla... no-no-no... ini bisnis man! ^_^ Dan benar kata para mentor bisnis, mencari partner bisnis itu seperti mencari pasangan hidup #halah. Kenali baik-baik... cari tahu sedikit/banyak tentang orang tersebut. Karena bisnis bukan hanya sekedar transaksi keuangan, hehehe 

*menulis sambil memasak rendang
Taipei, 25 November 2017

Thursday, 9 November 2017

Be professional, please...

Selenting kabar sampai ke saya, bahwa ibu X lagi-lagi mencontek jualan saya. Sebelumnya dia menjual bakso dengan mengambil langsung ke suplier saya, saya yang bodoh sih ngapain bagi-bagi ke orang lain nomor kontaknya, hehehe. Nah... ternyata dia juga menjual menu handalan dari Katering Bunda Najmi.

Nggak ada yang salah sih, semua orang bisa jual apa saja yang mereka suka kan? Dalam dunia usaha, apalagi kuliner, contek mencontek ide itu sudah biasa. Walau saya kesel juga, ini orang selalu meniru produk yang sukses saya jual. Malah dulu lebih parah, dia selalu minta resep ke saya cuy... dan saya lugunya ngasih, hahaha.

Hingga saya sadar, saat dia minta resep Dendeng Batokok yang lagi nge hits se-gongguan. Apalagi saya the one and only yang jual itu barang se-Taipei. Jadi walau hanya buka open PO seminggu sekali, yang beli selalu rame. Lah... mosok saya bagi resep andalan saya... ya... kalau dia mau bisa tanya om google juga banyak resep berseliweran. Tapi resep rahasianya... hanya orang Minang yang tau :p Jadilah saya cuekin...

Nah selain Dendeng Batokok, menu nge-hits saya yang lainnya adalah... ayam geprek. Ini pun resepnya banyak berseliweran dimana-mana. Tapi gitu tau dia juga jual itu... nyesek juga saya. Hahaha. Kesel aja, semua serba diikutin. Masalahnya... saya untuk menentukan menu itukan pakai proses, analisa pasar kuliner tanah air #halah untuk diadopsi di sini. Itupun butuh proses juga kan untuk mengetahui respon pasar di sini. Jadi kalau dijiplak-jiplak gitu... keki aja saya :p Dan tadi... qadarullah... saya mergokin sendiri dia jual ayam geprek, walau mencoba nutup2i dari saya. Allah tidak tidur bu...

Lagi... saya tidak masalah dia juga jual produk yang sama walau dalam hati agak-agak gimanaaa gitu ya. Yang saya kesal itu alasan orang-orang menerima dia berbuat demikian (plagiarism dan main belakang, red), dalam hal ini... suami saya!
"Ya... dia lagi butuh uang kali Bun..."
"Anaknya kan banyak Bun..."
"Ya.. biarkan ajalah, kasihan..."
Bla... bla... bla...

Saya tidak mempermasalahkan aksi contek mecontek itu, tapi saya menyayangkan sikap permisif dari orang-orang disekitar. Saya yakin, orang lain pun akan memiliki pemikiran yang sama dengan suami saya. Jadi giniloh, kalau kita ambil contoh yang agak ekstrim, si ibu itu tidak mencuri ide tapi... mencuri barang. Lalu apakah akan dibiarkan saja dengan alasan-alasan tersebut?

Bisnis itu bukan sekedar perkara cari duit saja. Bisnis itu tempat mengasah kreativitas, dapat banyak orderan itu bonus. Hargailah bisnis itu sebagai sebuah proses bukan semata-mata hanya menjadi alat untuk dapat uang, kalau sudah begini, jadinya menghalalkan segala carakan?

Orderan saya sama sekali tidak berkurang, walau si ibu juga menjual produk yang sama dengan saya. Malah... orderan saya bertambah dan pintu-pintu rejeki Allah bukakan dari pintu-pintu yang tidak pernah saya duga. Dan tanpa diduga... tawaran bisnis dari ranah lain ujug-ujug datang begitu saja. Saya yakin Allah Maha Kaya dan kavling rejeki setiap orang sudah dijatah oleh-Nya.

Tapi... ya... saya menyayangkan strategi bisnis yang diambil oleh si ibu. Mungkin baiknya saya ngomong langsung dengan yang bersangkutan dan bahkan mementoring dia biar bisnisnya oke, hehehe #siapaelu :p Tapi... saya sudah ilfil duluan :p

Semangat Menghafal Al Quran dan Membimbing Anak Murajaah di Rumah

  Alhamdulillah, tadi pagi berkesempatan mengikuti webinar yang diadakan oleh Mataba Darul Quran Bojongsari Depok. Temanya: “Semangat Mengha...