Dulu... saya suka gemes sama ibu saya, karena sering tertipu oleh karyawannya. Beberapa orang karyawan yang dimilikinya, berakhir dengan pemecatan karena ketahuan berbuat curang dan merugikan toko. Saya gemez... kenapa ibu saya tidak melakukan sesuatu. Minimal, marah gitu sama orang yang sudah merugikan bisnisnya. Ibu saya lempeng saja, menganggap hal itu sebagai resiko bisnis dan kembali fokus berjualan. Tidak sekali ibu saya ditipu oleh karyawannya, namun beberapa kali, hingga saya suka bertanya-tanya sendiri, Did not she learn from her past experiences? Hingga akhirnya saya terjun ke dunia bisnis, baru saya mengerti apa yang terjadi dengan ibu saya.
Sejauh ini, bisnis adalah pekerjaan sampingan bagi saya. Saya mulai serius menekuninya, karena keadaan yang sangat terpaksa saat itu. Kisahnya bisa dibaca di sini. Dan hingga kini saya benar-benar fokus melakukannya walau tetap saja, hanya di hari-hari khusus saja. Semula saya rasa baik-baik saja dan malah fun, karena yang berbisnis bukan hanya saya, namun juga ibu-ibu disekitar saya. Kami memiliki ciri khas produk makanan masing-masing sehingga tidak jarang berkolaborasi kalau ada orderan besar.
Masalah datang ketika saya hendak pulang ke Indonesia selama summer break. Seorang ibu datang dan menyampaikan jika beliau hendak menjual bakso. Saya tidak paham maksudnya apa, apakah dia ingin mengambil bakso dari saya karena di wilayah kami saya yang berjualan bakso atau... cuma sekedar pemberitahuan saja kalau dia mau jualan bakso. Karena saya menganggap dia mau ambil bakso dari saya... saya sampaikan ke beliau kalau saya akan break selama sebulan, jadi tidak jualan dulu. Lagian saya masih mikir-mikir juga... kalau saya kasih bakso ke dia, nanti dia jual berapa? Saya sendiri mengambil keuntungan sangat tipis, kalau dia saya beri harga normal nanti dia akan jual harga berapa? Padahal pasar kami itu-itu saja orangnya, pasti dia akan kalah bersaing karena otomatis harga saya lebih murah. Atau kalau mau, saya yang menaikkan harga pasaran agar si ibu itu punya margin untuk menjualkannya. Karena mau break saya tidak pikir panjang. Nanti saja dibahas saat balik. Saya mikirnya begitu.
Namun apa yang terjadi? Ternyata si ibu itu menjual bakso yang sama persis dengan yang saya jual selama saat libur ke Indonesia. Salah saya, waktu itu share no kontak pembuat bakso. Entahlah... saya tidak kepikiran saja akan ada orang yang "menyalip", karena selama ini kami bersama ibu-ibu yang lain fun-fun saja dan masing-masing membuat produk pilihan yang berbeda. Karena ya itu... pasar kami secara garis besar itu-itu saja.
"Udah... sabar aja Bun. Barangkali dia jualan bakso karena kita lagi di Indonesia", demikian kata suami. Saya iya-iya saja, ya... bisa jadi. Kita lihat saja nanti setelah balik ke Taiwan.
Setelah kembali... ternyata si ibu tersebut masih menjual bakso yang sama persis seperti saya. Bahkan banyak laporan yang masuk jika si ibu menjapri orang-orang agar kalau membeli bakso ke dia saja.
"Rejeki nggak bakal ketukar Bun", nasehat suami saat saya membahas masalah ini. Ya... saya yakin itu, buktinya penjualan bakso kami masih baik-baik saja bahkan lebih banyak dari biasanya.
"Mungkin dia memang butuh uang, anaknya kan banyak", tambah suami lagi. Sekali lagi saya iyakan, kita tidak pernah tahu kebutuhan dan kesulitan ekonomi yang dialami seseorang.
Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi bahas bakso. Lagian varian jualan saya yang lain masih banyak dan itu tidak kalah nge-hits dengan bakso. Pembuat bakso pun pernah menanyakan terkait hal ini, karena dia merasa nggak enak juga karena melepas baksonya ke si ibu tersebut. Rasa tidak enak yang tidak seharusnya dia miliki, yang namanya produsen bakso ya pengennya baksonya terjual lah :) Saya pun tidak pernah menyalahkan beliau. Saya merasa si ibu itu tidak etis, iya. Namun bagaimanapun itu hak dia untuk berjualan produk yang dia mau. Walau kadang suka ngenes sendiri, karena saya hunting ke berbagai produsen bakso untuk mendapatkan produk terbaik menurut citarasa saya dan memang diakui oleh banyak pelanggan saya. Begitu sukses, si ibu tinggal serobot saja :p Ya... itu urusan dialah :)
Hingga tadi... saya kembali merasa terusik oleh si ibu ini. Saya sedang mengantarkan pesanan bakso ke seorang langganan. Saat itu temannya juga menginginkan bakso yang sama (bakso pentol), namun karena saya tidak membawa lebih (hanya sesuai pesanan) saya bilang paling baru ada minggu depan. Karena saya pun menjual bakso dengan sistem PO, jadi kalau tidak pesan ya... tidak kebagian. Si ibu bersangkutan ternyata juga membawa bakso. Tapi ternyata bukan varian bakso yang diinginkan pelanggan.
"Saya di rumah ada, tapi nggak bawa ke sini...", kebetulan kami berjualan di Masjid setiap hari Jumat. Dan si ibu itu terus berceloteh panjang berusaha meyakinkan bahwa dia adalah si penjual bakso. Padahal jelas-jelas mereka sedang bertraksaksi dan berkomunikasi dengan saya. Hanya bisa menarik nafas panjang... mungkin dia memang sebegitu butuhnya dengan uang, hingga urat malunya sudah putus semua. Karena menurut saya itu bukan masalah besar, jadi saya cuekin saja dan lanjut menemani anak saya.
Tiba-tiba malah ada seorang ibu lain yang ngomporin,"Kontak aja ibu tadi (pelanggan) bilang kalau baksonya ada di rumah. Antar kalau bisa ke rumahnya.", saya diam pura-pura tidak dengar. Toh tidak ada gunanya. masak hanya gara-gara beberapa NT jadi gontok-gontokan dengan orang :D
"Saya jualin ya baksonya Bu... Pakai tim saya, nanti saya minta komisi XX NT." lanjut si ibu yang ngomporin tadi.
"Saya jual di grup XX", tambahnya. Sungguh, saya sedih sekali. Jelas-jelas saya pun selama ini mempromosikan bakso saya di grup XX dan dia dengan seenaknya mau menjadikan grup XX sebagai seller langsung bakso. Ya... lagi-lagi itu hak mereka... dan lagi-lagi... rejeki tidak akan tertukar. Namun yang saya sedihkan itu... cara mereka itu loh. Jelas-jelas saya ada di sana, namun dia bertindak seolah-olah saya nihil.. tidak ada. Padahal selama ini, saya tidak pernah buat masalah dengan salah satu diantara mereka. Sah-sah saja sih kalau mereka ingin membuat kesepakatan tersebut, tapi bisakan dibicarakannya tanpa harus di depan saya? Tidak sebegitu berartinya saya bagi mereka? Sebegitu tidak berharganya? Sungguh.... saya benar-benar kecewa...
Flash back ke beberapa bulan sebelumnya... suami saya berencana membuat dan menjual tempe. Karena tempe merupakan makanan favorit yang untungnya gede! Bisa tiga hingga empat kali lipat harga jualnya dari harga produksi. Menggiurkan bukan? Namun karena si ibu yang mengompori jualan tempe beberapa hari setelah ide tersebut keluar dari mulut suami, kami urung melakukannya. Tidak enak bersaing dengan tetangga sendiri. Lalu produsen empek2 menawari kami untuk menjadi re-sellernya, namun kami tolak baik-baik. Karena diantara kami sudah ada yang menjual empek-empek, biarlah itu menjadi rejeki dia saja.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah dalam berbisnis, saya dan suami tidak hanya memakai kalkulator keuntungan saja. Ada banyak hal yang kami pertimbangkan, pertama kualitas, kami hanya menjual barang yang kualitasnya bagus. Kedua, speciality, sedapat mungkin tidak menjual barang yang sudah dijual orang lain di komunitas ini. Karena kami hanya sekelompok manusia Indonesia yang terdampar di sudut kecil kota Taipei, pasar dan sasaran kami secara garis besar orang yang itu-itu saja walau tidak tertutup kemungkinan untuk ekspansi pasar. Jadi kami mencoba untuk saling menjaga perasaan. Tapi tidak semua orang berpikiran demikian, ada sebagian orang yang berjalan di kepalanya hanya uang..uang.. dan uang... Bagaimana caranya agar bisa mengumpulkan uang...
Dan mungkin... ini juga yang terjadi dengan ibu saya. Dia menganggap semua orang baik, tidak menyangka jika ternyata ada yang akan menusuknya dari belakang. Sekarang saya mengerti... mengapa untuk mengerti karakter seseorang... berbisnislah dengan mereka... maka kita akan paham karakter aslinya seperti apa.
Semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat seperti itu... dan lebih waspada lagi dengan orang-orang disekitar kita. Terlihat baik... belum tentu baik... :(
Ini baru bisnis level ecek-ecek, gimana dengan yang levelnya lebih besar lagi ya? :)
Ini baru bisnis level ecek-ecek, gimana dengan yang levelnya lebih besar lagi ya? :)
No comments:
Post a Comment