Meraih Keikhlasan Dalam Berumah Tangga
(Tulisan ini dirangkum dari materi yang disampaikan Ustzh. Erika Suryani)
“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
[Ar-Rum 21].
Dalam kutipan surat Ar Rum ayat 21 tersebut, jelas dipaparkan bahwa menikah mewujudkan : sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sakinah yakni rasa nyaman dan ketenangan yang didapatkan seseorang dari pasangannya. Waddah (Cinta) yaitu ketertarikan fisik dan keterikatan spiritual antar pasangan yang membuat mereka mampu bekerjasama dalam membangun keluarga, menjaga anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Cinta mudah tumbang dalam kehidupan berumah tangga, jika tidak selalu dipupuk dan ditumbuhkan. Sedangkan Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap melindungi yang dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Ketika telah sampai pada tiga tahapan inilah, menikah bisa dijalani dengan keikhlasan.
Menikah sebagai salah satu ladang dalam mencari pahala, mutlak perlu adanya keikhlasan dalam menjalaninya. Landasan ikhlas dalam menikah, sama dengan amalan-amalan lainnya, dapat ditilik dalam surat Al Ikhlas. Dimana kita berada dititik nol, dalam keadaan kosong (khalas), hanya Allah yang menguasai hati dan pikiran, bahwa semua yang kita lakukan semata-mata hanya untuk mencapai ridho dari Allah. Pun demikian halnya dengan menikah.
Menikah ibarat bahtera yang akan mengarungi perjalanan panjang dimana ombak dan badai telah menanti di depan sana. Seringkali pemuda-pemudi terlena, membayangkan dalam pernikahan selalu yang indah-indahnya saja. Padahal, ketika Allah memberikan petunjuk/jawaban atas istikarah yang dilakoni seorang hamba seyogyanya hal tersebut merupakan penekanan bahwa, “ya… itu ujianmu berikutnya”. Hanya dengan ridho dan ikhlaslah ujian demi ujian bisa dihadapi. Karena kita sedang melakukan perjual-belian dengan Allah yang tebusannya sangat mahal, yakni surga. Surga hanya bisa ditebus dengan harta dan jiwa (waktu+tenaga+ilmu+nyawa).
Bagaimana agar bisa ikhlas dan survive dalam berumah tangga? Yang paling utama, masing-masing istri dan suami memahami hak dan kwajiban masing-masing. Jangan sampai hal-hal sepele menjadi penyebab kehancuran rumah tangga. Setiap pasangan harus menanamkan didalam jiwa dan pikirannya bahwa mereka bertemu untuk mencari ridho Allah dan jikapun ternyata harus berpisah, perpisahan itupun harus dilandasi untuk mencari ridho Allah.
Tidak bisa dipungkiri, ke-qawwam-an seorang suami memiliki peran besar dalam keutuhan berumah tangga, dimana didalam Al Quran dinyatakan : Arrijalu qawwamul’alal nisa (laki-laki adalah pemimpin bagi wanita). Karena tanggungjawabnya ini, seorang suami harus : lebih kuat, lebih sabar, dan lebih bijak daripada istrinya. Untuk itu, perlu adanya kesamaan pemahaman bagi calon suami dan istri sebelum menikah. Carilah pasangan hidup yang baik untuk anak-anak kita, jangan sampai kita menjadi orang tua yang durhaka terhadap anak karena salah mencarikan ayah/ibu bagi mereka.
Dalam menikah, setiap pasangan suami istri harus siap untuk berubah. Bukan istri berubah jadi mengikuti suami ataupun sebaliknya suami berubah mengikuti istri, namun berubah dalam rangka ketaan kepada Allah. Jika selama ini upaya perbaikan diri hanya dilakukan seorang diri, kini bisa bersama-sama dengan pasangan dan juga keluarga.
***end***
Pengajian Pakubuwono,
5/5/2013
No comments:
Post a Comment